1.
Sedekah Bumi
Tradisi sedekah bumi ini, merupakan
salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau jawa yang sudah
berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang jawa terdahulu. Ritual
sedekah bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang
berprofesi sebagai petani, nelayan yang menggantunggkan hidup keluarga dan
sanak famil mereka dari mengais rizqi dari memanfaatkan kekayaan alam yang ada
di bumi.
Bagi masyarakat jawa khususnya para
kaum petani dan para nelayan, tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan
hanya merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka.
Akan tetapi tradisi sedakah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara
tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian dari masyarakat
yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari budaya jawa .
Pada acara upacara tradisi sedekah
bumi tersebut umumnya, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan di
dalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar
yang merayakannya tradisi sedekah bumi membuat tumpeng dan berkumpul menjadi
satu di tempat sesepuh kampung, di balai desa atau tempat tempat yang telah
disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual
sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng
tersebut ke balai desa atau tempat setempat untuk di doakan oleh sesepuh adat.
setelah di doakan oleh sesepuh adat, kemudian kembali diserahkan kepada
masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di doakan
oleh sesepuh adat setempat kemudian di makan secara ramai ramai oleh masyarakat
yang merayakan acara sedekah bumi itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang
membawa nasi tumpeng tersebut yang membawanya pulang untuk dimakan beserta sanak
keluarganya di rumah masing-masing.
Pembuatan
nasi tumpeng ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat
upacara tradisi tradisional itu. Makanan yang menjadi makanan pokok yang harus
ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam panggang.
Sedangkan yang lainnya seperti minuman, buah-buahan dan lauk-pauk hanya
bersifat tambahan saja, tidak menjadi perioritas yang utama. pada acara akhir
para petani biasanya menyisakan sebagian makanan itu dan diletakkan di sudut-sudut
petak sawahnya masing-masing. sebagai Bentuk Rasa Syukur. Dalam puncaknya acara
ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan doa bersama-sama oleh
masyarakat setempat dengan dipimpin oleh sesepuh adat. Doa dalam sedekah bumi
tersebut umumnya dipimpin oleh sesepuh kampung yang sudah sering dan terbiasa
mamimpin jalannya ritual tersebut. Ada yang sangat menarik dalam lantunan doa
yang ada dilanjutkan dalam ritual tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa
tersebut adalah kolaborasi antara lantunan kalimat kalimat Jawa dan dipadukan
dengan doa yang bernuansa Islami.
2.
Perkumpulan satu suro
Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura
atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah,
karena Kalender jawa yang mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Satu
suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum
tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari
Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada
tengah malam. Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari
ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian
masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk
berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Tradisi
saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal
ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak
mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara
untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun
penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.
3.
Maulid Nabi
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid
Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan
berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua
kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan
Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan
Sekaten.
Dua
kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan
Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di
halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua
gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang
disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).
Pada
zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata
“gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar
dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan
sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud,
ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar
(menyambut Idul Adha).
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan
warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah
dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan
hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai
hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya
mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan
dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing,
ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid,
bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan
ribu umat Islam.
Dede
prayuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar